KONFOSIANISME/KUNFUSIANISME
Pemikiran ini muncul setelah Kung Fu Tze melihat kekacauan dalam masyarakat, dimana terdapat banyak peperangan, yang berakibat muncul masalah anarki sosial. Satu sisi Kung Fu Tze tidak setuju dengan pemikiran pada realis yang mendahulukan kekuatan atau kekerasan dalam menegakkan kepatuhan. Dilain pihak Kung Fu Tze juga tidak terlalu setuju dengan konsep cinta kasih yang dipaparkan oleh kaum Mohisme karena cinta kasih yang tidak mengenal perbedaan akan menyebabkan kemerosotan nilai.
Kung Fu Tze melihat ada satu titik terang dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya pada saat itu, yaitu menemukan kembali “lem perekat” yang selama ini telah hilang. Perekat yang dapat menyatukan kembali setiap elemen yang ada dalam masyarakatnya agar kembali berfungsi sebagaimana layaknya sebuah masyarakat.
Kung Fu Tze menyadari bahwa “lem perekat” tersebut adalah Adat Istiadat. Ada dua fungsi penting adat istiadat, pertama adalah kemampuan adat istiadat yang luar biasa untuk mengendalikan perbuatan-perbuatan yang bersifat asosial. Kedua, tahap sosialisasi dari adat istiadat ini berjalan dengan spontan tanpa pemikiran khusus. Anggota masyarakat menerima adat istiadat itu tanpa bertanya dan tanpa sadar. (Smith,1999,197)
Pada masa Kung Fu Tze, seperti telah diceritakan pada bab ini, terjadi banyak peperangan dan penurunan moral. Kejadian ini disebabkan karena telah menurunnya rasa kebersamaan yang diwujudkan dalam bentuk adat istiadat atau tradisi. Walter Lippmann mengatakan bahwa ketika tradisi mulai ditinggalkan dalam masyarakat maka masyarakat tersebut dalam keadaan terancam. Dan jika terputusnya kesinambungan tradisi itu tidak diperbaiki maka masyarakat tersebut akan terjerumus kedalam peperangan antar golongan.
Manusia dan masyarakat merupakan suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan bagi Kung Fu Tze, seperti yang diungkapkan oleh Chen Jingpan bahwa Masyarakat harus menyesuaikan diri pada individu untuk menghindari stagnasi, dan individu pun harus menyesuaikan diri pada masyarakat untuk menjadi manusia, dan individu tidak bisa hidup atau berkembang tanpa bantuan masyarakat. (Jingpan, 1994, 175).
Adat istiadat atau tradisi bagi Kung Fu Tze merupakan sumber perekat dalam masyarakat. Ia sendiri amat tertarik akan tradisi, sebagai jawaban sebenarnya terhadap masalah sosial. Kung Fu Tze percaya bahwa bangsa Cina pernah mengalami masa keselarasan yang agung dan tradisilah yang menciptakan abad gemilang tersebut.
Kung Fu Tze memang memimpikan kejayaan masa lampau, dan menginginkan agar masa itu terulang kembali, namun Ia sungguh hidup dalam zamannya, yang waspada melihat hal-hal baru yang menyebabkan zamannya berbeda dengan zaman yang lampau. Kung Fu Tze sadar bahwa tidak semua tradisi lama itu bisa diterapkan terus untuk masa sekarang. Tradisi harus mengalami penyesuaian sedangkan yang harus dijaga adalah kesinambungan tradisi itu agar terus hidup dalam masyarakat.
Kung Fu Tze selalu mempertimbangkan hal-hal baru yang mnyebabkan tradisi lama tidak bisa lagi dijalankan, kemudian Ia melakukan penafsiran kembali yang disertai perubahan-perubahan. Bukti otentik dari penyesuaian itu Ia mengeluarkan 6 buah kitab klasik yang Ia rangkum dari banyak tradisi-tradisi masa lampau yang Ia nilai masih relevan terhadap kehidupan di masanya.
Tradisi ini akan berjalan baik dalam masyarakat apabila ada kesadaran dalam diri manusia yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain tradisi akan berjalan jika manusia yang ada dalam masyarakat mau menjalankannya secara sukarela tanpa paksaan dan sadar bahwa tradisi itu penting bagi kehidupannya dalam masyarakat.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa dibutuhkan orang-orang yang cinta akan kebenaran, patuh terhadap adat istiadat, dan selalu melakukan kebajikan. Maka untuk mewujudkan suatu bentuk masyarakat yang ideal dibutuhkan suatu wujud manusia yang ideal pula. Manusia ideal disini adalah manusia yang sangat sadar akan keberadaannya didalam masyarakat. Mereka adalah manusia yang telah mengerti akan jalan hati, rahasia transformasi benda-benda, sebab dari yang misterius dan kudus, lalu menyesuaikannya dengan sumber dan prinsip peredaran (prinsip yang mengatur hidup dan mati ). Hanya oleh ini manusia direalisasikan. Jadi seorang mengetahui “jalan langit” dan dalam hidupnya melaksanakan kebijakan kemanusiaan yang sempurna (jen) dan keadilan dalam hubungan antarpribadi (yi); ia menghiasi dirinya dengan ritus dan musik. Kemanusiaan, keadilan, ritus dan musik: inilah kebajikan dari orang yang telah mewujudkan dirinya; pengetahuan akan prinsip spiritual tentang transformasi: inilah yang menunjukkan keberhasilan kuasanya. Manusia seperti inilah yang oleh Kung Fu Tze dinamakan Chun Tzu.
TAOISME
Pesan mendasar dari Taoisme adalah bahwa kehidupan ini terdiri keseluruhan yang bersifat organik dan saling terhubung (organic and interconnected whole), yang terus berubah secara konstan. Gerak perubahan yang bersifat tetap ini merupakan bagian dari tatanan alamiah alam semesta. Manusia berubah bersama alam yang terus berubah secara alami. Dengan menyadari adanya kesatuan antara alam dan manusia, dan belajar untuk hidup menyesuaikan diri dengan gerak alamiah alam, orang akan sampai pada keadaan yang sepenuhnya bebas dan merdeka, sekaligus secara langsung terhubung dengan gerak kehidupan dari alam semesta. Pada tahap ini, orang hidup bersama dan melalui Tao. Orang hidup dalam kesatuan dengan Tao. Ini adalah tingkat tertinggi di dalam kehidupan manusia.
Tao adalah konsep utama di dalam aliran pemikiran yang dirumuskan pertama kali oleh Lao Tzu dan Chuang Tzu. Di dalam aliran pemikiran ini, Tao dipandang sebagai sebuah konsep sentral yang bersifat metafisis yang memberi dasar bagi keseluruhan kehidupan.
Para ahli di Cina sekarang ini membedakan antara Taoisme sebagai filsafat, dan Taoisme sebagai agama. Taoisme sebagai filsafat disebut juga sebagai Tao Chia, sementara Taoisme sebagai agama disebut juga sebagai Tao Chiao. Sebagai sebuah ajaran filsafat, Taoisme bersama dengan Konfusianisme dan Buddhisme mendominasi kehidupan masyarakat Cina pada abad ketiga setelah Masehi. Ketiga aliran ini disebut juga sebagai “Ketiga Ajaran” (three teachings). Di dalam masyarakat Cina kontemporer, Konfusianisme memang memiliki pengaruh yang masih besar, tetapi tidak pernah menjadi sebuah ajaran yang memiliki institusi resmi, seperti misalnya yang terdapat di dalam Taoisme.
Filsafat Taoisme
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada abad keenam sebelum Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan „Yang memiliki status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.”cLao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.” Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia. Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te, jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.
Sumber : Blog sebelah (lupa linknya)
asek lah, mulai ngeblog lagi nih kayanya
BalasHapushaha iseng aja jah
BalasHapus