Perang Kurs
Perang kurs (currency war) merujuk pada kebijakan otoritas moneter suatu negara yang secara tidak langsung mendevaluasi mata uangnya. Perang kurs yang biasa disebut competitive devaluation dilakukan untuk meningkatkan daya saing ekspor suatu negara terhadap negara lainnya.
Istilah ini diungkapkan pertama kali oleh menteri keuangan Brasil, Guido Mantega menanggapi kebijakan The Fed yang membuat dollar AS melemah terhadap mata uang negara partner dagang utamanya, seperti India, China, Jepang, Jerman, dan Brasil.
Ekonom Joseph Stiglitz, November 2010 kepada Guardian memperingatkan bahwa perang kurs dalam situasi perekonomian dunia yang serba tidak pasti hanya akan menciptakan kerugian bagi seluruh negara di dunia. Perang kurs akan memperlambat proses pemulihan ekonomi global.
Pengalaman depresi besar tahun 1930-an menunjukkan bahwa perang kurs membuat proses pemulihan ekonomi global berjalan lamban. Krisis ekonomi bertahun-tahun disebabkan oleh setiap negara tidak hanya terjebak dalam perang kurs tetapi juga perang dagang (trade wars) melalui kebijakan tarif yang bersifat proteksionis.
Istilah ini diungkapkan pertama kali oleh menteri keuangan Brasil, Guido Mantega menanggapi kebijakan The Fed yang membuat dollar AS melemah terhadap mata uang negara partner dagang utamanya, seperti India, China, Jepang, Jerman, dan Brasil.
Ekonom Joseph Stiglitz, November 2010 kepada Guardian memperingatkan bahwa perang kurs dalam situasi perekonomian dunia yang serba tidak pasti hanya akan menciptakan kerugian bagi seluruh negara di dunia. Perang kurs akan memperlambat proses pemulihan ekonomi global.
Pengalaman depresi besar tahun 1930-an menunjukkan bahwa perang kurs membuat proses pemulihan ekonomi global berjalan lamban. Krisis ekonomi bertahun-tahun disebabkan oleh setiap negara tidak hanya terjebak dalam perang kurs tetapi juga perang dagang (trade wars) melalui kebijakan tarif yang bersifat proteksionis.
Penyebab Perang Kurs
Perang kurs diawali oleh terjadinya ketidakseimbangan dalam hubungan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Perekonomian AS yang sangat konsumtif yang menjadi pusat krisis keuangan global tahun 2008 terus mengalami peningkatan defisit perdagangan terhadap China dalam beberapa tahun terakhir.
The Fed menyimpulkan bahwa defisit tersebut dipicu oleh rendahnya daya saing produk AS terhadap produk China yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah China yang secara sengaja membentengi nilai mata uangnya dari potensi penguatan terhadap dolar AS.
Selama ini, AS menganggap China sengaja menjaga mata uangnya undervalue (40 persen lebih rendah dari nilai sebenarnya) yang membuat harga ekspornya lebih murah dibandingkan ekspor negara lainnya. Sebaliknya, barang-barang AS tidak hanya mahal di pasar ekspor (pasar China) tetapi juga tidak laku di pasar domestiknya sendiri.
The Fed menyimpulkan bahwa defisit tersebut dipicu oleh rendahnya daya saing produk AS terhadap produk China yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah China yang secara sengaja membentengi nilai mata uangnya dari potensi penguatan terhadap dolar AS.
Selama ini, AS menganggap China sengaja menjaga mata uangnya undervalue (40 persen lebih rendah dari nilai sebenarnya) yang membuat harga ekspornya lebih murah dibandingkan ekspor negara lainnya. Sebaliknya, barang-barang AS tidak hanya mahal di pasar ekspor (pasar China) tetapi juga tidak laku di pasar domestiknya sendiri.
Hal ini dipandang sebagai faktor penyebab tidak efektifnya kebijakan stimulus bernilai triliunan dolar AS yang memperlambat proses pemulihan ekonomi AS.
Indikasi terjadinya perang kurs tercermin pada kebijakan The Fed yang menerapkan rezim bunga sangat rendah dan kebijakan "quantitative easing" tahap kedua bernilai ratusan miliar dolar AS (USD600 miliar) untuk membeli surat berharga pemerintah AS yang selama ini dipegang oleh swasta.
Kebijakan ini berisiko bagi perekonomian global karena dibiayai dengan cara mencetak uang baru yang membuat kemerosotan nilai dolar AS terhadap mata uang utama dunia dan mendorong perekonomian emerging market ke dalam ekonomi gelembung akibat harga aset yang meningkat tanpa disertai perbaikan pada sisi fundamentalnya.
Kebijakan quatitative easing yang dibiayai oleh pencetakan dolar AS dapat berdampak negatif terhadap negara-negara emerging market dan juga negara berkembang pada umumnya, mengingat likuiditas yang dimiliki oleh investor tidak diinvestasikan pada kegiatan ekonomi produktif tetapi justru ditempatkan pada instrumen keuangan jangka pendek yang memberikan nilai pengembalian tinggi di negara-negara emerging market.
Sebagai contoh, membanjirnya dana-dana jangka pendek (hot money) pada instrumen keuangan Indonesia seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Utang Negara (SUN) berpotensi mengalami pembalikan secara tiba-tiba (sudden reversal) yang dapat menyebabkan krisis ekonomi seperti tahun 1997.
Situasi seperti ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi terjadi pada hampir semua negara di Asia, seperti Singapura, Thailand, Malaysia, China, dan India. Kecenderungan ini berdampak pada meningkatnya cadangan devisa negara-negara di atas, khususnya Indonesia yang diprediksi dapat mencapai angka USD100 miliar jika langkah pembatasan tidak langsung terhadap arus modal asing tidak diberlakukan, yaitu dengan menghilangkan transaksi SBI tiga bulan.
Aliran modal jangka pendek ke negara-negara Asia tidak hanya berdampak pada penumpukan cadangan devisa tetapi juga menyebabkan penguatan nilai tukar. Sebagai contoh, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cenderung menjadi semakin kuat bahkan berpotensi di bawah Rp8.900 jika BI tidak melakukan intervensi di pasar valuta asing. Demikian juga dengan mata uang lainnya seperti Won Korea, Yen Jepang, Baht Thailand, dan Dolar Singapura yang akan mengalami penguatan drastis tanpa kebijakan intervensi di pasar valuta asing.
Perang kurs yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir dipicu oleh dua faktor utama, yaitu:
(1) Kebijakan otoritas moneter AS yang secara tidak langsung memerosotkan nilai mata uangnya.
(2) Langkah pemerintah China yang terus membentengi mata uangnya dari potensi penguatan (apresiasi).
Akibat Perang Kurs
Akibat Kebijakan seperti ini telah mendorong negara lainnya untuk mengambil langkah serupa, yaitu secara tidak langsung mendevaluasi mata uangnya untuk menjaga daya saingnya di pasar ekspor. Hal paling buruk akan terjadi terhadap perekonomian global jika perang kurs menjelma menjadi perang dagang, di mana setiap negara berusaha memproteksi pasar domestiknya masing-masing.
Lalu seperti apa dampaknya terhadap Indonesia dan Sulsel secara khusus? Bagi perekonomian nasional, perang kurs dapat berdampak negatif melalui menurunnya daya saing produk-produk kita di pasar ekspor. Penguatan rupiah terhadap dolar AS membuat harga komoditas utama nasional dan juga Sulsel menjadi lebih mahal di pasar internasional dibandingkan komoditas yang sama dari negara lainnya yang menjaga mata uangnya tidak menguat seperti yang dilakukan China.
Namun demikian, perang kurs yang memicu penguatan rupiah terhadap dolar AS juga dapat berdampak positif terhadap perekonomian nasional dan Sulsel dengan harga barang-barang impor yang relatif murah.
Artinya, sekaranglah saatnya sektor industri nasional mengimpor barang-barang modal, misalnya pabrik dan komponennya. Bukan sebaliknya mengimpor barang-barang konsumsi yang dapat dihasilkan di dalam negeri meskipun harganya lebih murah.
Penguatan rupiah akibat perang kurs memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap perekonomian masing-masing daerah di Indonesia. Bagi Sulsel, perang kurs tidak memiliki dampak yang terlalu besar terhadap perekonomian daerah, khususnya terhadap ekspor komoditas utama Sulsel mengingat komoditas tersebut tidak memiliki kompetitor yang banyak di pasar global dengan permintaan yang terus meningkat.
Sebagai contoh, ekspor komoditas kakao, kopi, rumput laut, nikel, dan komoditas pertambangan lainnya hanya dihasilkan oleh beberapa negara utama saja, seperti Pantai Gading untuk kakao, Cile untuk rumput laut, Malaysia untuk sawit, Brasil untuk kopi dan lainnya.
Singkatnya, perang kurs tidak berdampak negatif yang bersifat langsung terhadap perekonomian Sulsel, justru sebaliknya perang kurs dengan aliran dana besar ke negara-negara berkembang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah provinsi Sulsel untuk mempercepat transformasi perekonomiannya dari perekonomian primitif yang mengandalkan ekspor komoditas pertanian menjadi perekonomian yang didominasi oleh sektor industri manufaktur berbasis komoditas unggulan daerah.
Lalu seperti apa dampaknya terhadap Indonesia dan Sulsel secara khusus? Bagi perekonomian nasional, perang kurs dapat berdampak negatif melalui menurunnya daya saing produk-produk kita di pasar ekspor. Penguatan rupiah terhadap dolar AS membuat harga komoditas utama nasional dan juga Sulsel menjadi lebih mahal di pasar internasional dibandingkan komoditas yang sama dari negara lainnya yang menjaga mata uangnya tidak menguat seperti yang dilakukan China.
Namun demikian, perang kurs yang memicu penguatan rupiah terhadap dolar AS juga dapat berdampak positif terhadap perekonomian nasional dan Sulsel dengan harga barang-barang impor yang relatif murah.
Artinya, sekaranglah saatnya sektor industri nasional mengimpor barang-barang modal, misalnya pabrik dan komponennya. Bukan sebaliknya mengimpor barang-barang konsumsi yang dapat dihasilkan di dalam negeri meskipun harganya lebih murah.
Penguatan rupiah akibat perang kurs memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap perekonomian masing-masing daerah di Indonesia. Bagi Sulsel, perang kurs tidak memiliki dampak yang terlalu besar terhadap perekonomian daerah, khususnya terhadap ekspor komoditas utama Sulsel mengingat komoditas tersebut tidak memiliki kompetitor yang banyak di pasar global dengan permintaan yang terus meningkat.
Sebagai contoh, ekspor komoditas kakao, kopi, rumput laut, nikel, dan komoditas pertambangan lainnya hanya dihasilkan oleh beberapa negara utama saja, seperti Pantai Gading untuk kakao, Cile untuk rumput laut, Malaysia untuk sawit, Brasil untuk kopi dan lainnya.
Singkatnya, perang kurs tidak berdampak negatif yang bersifat langsung terhadap perekonomian Sulsel, justru sebaliknya perang kurs dengan aliran dana besar ke negara-negara berkembang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah provinsi Sulsel untuk mempercepat transformasi perekonomiannya dari perekonomian primitif yang mengandalkan ekspor komoditas pertanian menjadi perekonomian yang didominasi oleh sektor industri manufaktur berbasis komoditas unggulan daerah.
Anggota G-20
Latar belakang pembentukan forum ini berawal dari terjadinya Krisis Keuangan 1998 dan pendapat yang muncul pada forum G-7 mengenai kurang efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusan-keputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan mendengarkan kepentingan-kepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam kelompok kecil itu. Kelompok ini menghimpun hampir 90% GNP dunia, 80% total perdagangan dunia dan dua per tiga penduduk dunia.
Sebagai forum ekonomi, G-20 lebih banyak menjadi ajang konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Terdapat pertemuan yang teratur untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong diskusi di antara negara industri maju dan sedang berkembang terkemuka mengenai kebijakan-kebijakan yang mengarah pada stabilitas keuangan internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja.
G-20 tidak memiliki staf tetap. Kursi ketua dirotasi di antara anggota-anggotanya dan dipegang oleh Troika yang beranggotakan tiga anggota: ketua tahun berjalan, ketua tahun lalu, dan ketua tahun berikut. Sistem ini dipilih untuk menjamin keberlangsungan kegiatan dan pengelolaan. Ketua tahun berjalan membuka sekretariat tidak tetap yang buka hanya selama masa tugasnya.
Sebagian besar anggota adalah negara-negara dengan Keseimbangan Kemampuan Berbelanja (PPP) terbesar dengan sedikit modifikasi. Belanda, Polandia, dan Spanyol, yang termasuk big 20, diwakili oleh Uni Eropa. Iran dan Taiwan tidak diikutsertakan. Thailand juga tidak diikutsertakan, walaupun posisinya di atas Afrika Selatan.
Negara-negara anggota
- Afrika Selatan
- Amerika Serikat
- Arab Saudi
- Argentina
- Australia
- Brasil
- Britania Raya
- RRC
- India
- Indonesia
- Italia
- Jepang
- Jerman
- Kanada
- Korea Selatan à Sebagai Ketua G-20
- Meksiko
- Perancis
- Rusia
- Turki
- Uni Eropa
SUMBER : Info Lengkap


